Kamis, 19 Januari 2017

Enam Dalil Memilih Pemimpin dalam Islam

KEPEMPINAN adalah salah satu aspek yang dianggap sangat penting dalam Islam. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya ayat dan hadits Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang membahas tentang ini. Hal ini bisa dimengerti. Karena pemimpin merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan suatu masyarakat.
Dalam agama Islam, semua persoalan yang menyangkut kehidupan ummat manusia telah ada aturannya yang sangat jelas dan detail. Sebagai contoh adalah aturan (syariat) tentang bagaimana tata cara bersuci (istinja’) dari najis saat buang air besar/kecil dan bersuci dari hadats (kentut, mandi junub). Demikian juga tata krama (‘adab)  saat bersin, makan, minum, tidur, buang air dan seterusnya.
Padahal ini menyangkut hal yang dampaknya bersifat sangat individual. Karena itu sangat logis jika dalam persoalan yang lebih besar dan luas dampaknya, Islam juga sangat peduli. Contohnya soal kepemimpinan ini. Hal ini karena aspek kepemimpinan ini luar biasa sangat besar dampaknya bagi kehidupan seluruh rakyat (ummat) di suatu negeri.
Hadits Nabi  berikut ini sebagai salah satu bukti begitu seriusnya Islam memandang persoalan kepemimpinan ini. Nabi  Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
 “Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.” (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Hadits ini secara jelas memberikan gambaran betapa Islam sangat memandang penting persoalan memilih pemimpin. Hadits ini memperlihatkan bagaimana dalam sebuah kelompok Muslim yang sangat sedikit (kecil) pun, Nabi  memerintahkan seorang Muslim agar memilih dan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.
Kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah sesaat pasca wafatnya Rasulullah adalah bukti lain betapa pentingnya arti kepemimpinan ini dalam Islam. Saat jasad Nabi  yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi  daripada menyelenggarakan jenazah beliau yang agung dan mulia.
Salah satu bagian dari topik kepemimpinan yang banyak dibahas dalam al-Quran adalah soal memilih non Muslim bagi kaum Muslimin. Al-Quran telah memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk bagi kaum Muslimin agar tepat dalam memilih figur seorang pemimpin. Al-Quran dengan sangat benderang saat menjelaskan larangan memilih pemimpin non Muslim ini.
Tidak cukup dengan kalimat bernada anjuran, ayat-ayat yang menjelaskan soal ini bahkan disampaikan dengan bahasa perintah dan larangan yang sangat tegas. Tidak hanya sampai di sana,  beberapa ayat bahkan disertai  dengan  ancaman yang sangat serius  bagi  yang  melanggarnya.
Kesepakatan para ulama salaf dalam memahami ayat-ayat tersebut juga menunjukkan bahwa ayat-ayat tentang larangan memilih pemimpin non Muslim bagi kaum Muslimin telah menunjukkan derajat mutawattir (disepakati), sehingga tidak muncul perbedaan pendapat (khilafiyah) di kalangan mereka. Jikapun ada beberapa pendapat yang berbeda yang membolehkan memilih pemimpin non Muslim, itu umumnya difatwakan oleh generasi muta’akhirin saat ini, bukan dari kalangan ulama salaf. Karena itu, pemahaman demikian biasanya hanya dipandang   sebagai   pemahaman  yang   nyeleneh  (syadz)  di kalangan para ulama ahli fiqh, bahkan batil.
Fakta-fakta ini sekali lagi,  memperlihatkan bahwa persoalan memilih pemimpin itu merupakan salah satu persoalan yang dipandang sangat penting dalam pandangan Islam. Karena memilih pemimpin itu tidak  hanya mencakup dimensi duniawi, lebih dari itu juga memiliki dimensi akidah (ukhrowi). Karenanya, tidak selayaknya seorang Muslim masih menggunakan dasar dan acuan lain selain yang telah jelas dan tegas disebutkan dalam kitab sucinya al-Quran, jika mereka benar-benar mengaku orang yang beriman.
Definisi Pemimpin
Banyak definisi pemimpin yang sering dipakai di dalam kehidupan sehari-hari. Jika merujuk pada ayat-ayat yang berbicara tentang larangan memilih pemimpin kafir/non Muslim, kata pemimpin yang digunakan dalam ayat-ayat tersebut merujuk pada pengertian seseorang yang memegang dan menguasai suatu wilayah kaum Muslimin. Dengan kata lain pemimpin yang dimaksud di sini bermakna pemimpin yang kekuasaannya bersifat kewilayahan dan memiliki wewenang penuh atas wilayah kaum Muslimin secara penuh.
Bisa juga jika dijabarkan lebih jauh, maka definisi pemimpin di sini dapat juga bermakna seseorang yang memiliki kewengan yang sangat besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum Muslimin di suatu wilayah tertentu. Karena itu, wilayah-wilayah yang dikuasai oleh mayoritas non Muslim tidak masuk dalam pengertian/definisi ini. Selain itu, sifat kewilayahan ini juga bermakna bahwa boleh memilih non Muslim dalam aspek-aspek yang tidak menguasai wilayah kaum Muslimin atau tidak menguasai dan menyangkut urusan yang sangat besar dampaknya dan  strategis bagi ummat Islam.
Dalil-dalil al-Quran
Berikut  ini    ayat- ayat  al-Quran  yang  menunjukkan  dengan  jelas  larangan  memilih pemimpin non Muslim bagi wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman yang artinya:
Pertama;
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah  orang-orang  mukmin  mengambil  orang-orang  kafir  menjadi  WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS:  Ali Imron [3]: 28)
Kedua;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَن تَجْعَلُواْ لِلّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَاناً مُّبِيناً
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah kami ingin mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS:  An Nisa’ [4]: 144)
Ketiga;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Hai   orang-orang  yang  beriman,  janganlah  kamu  mengambil  orang-orang  yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai WALI (pemimpinmu).  Dan  bertakwalah kepada Allah  jika  kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS:  Al-Ma’aidah [5]: 57)
Keempat;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu   menjadi   WALI   (pemimpin/pelindung)   jika   mereka   lebih   mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka WALI, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23)
Lima;
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءهُمْ أَوْ أَبْنَاءهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُوْلَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍ مِّنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُوْلَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- nya. dan dimasukan-nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-nya. mereka itulah golongan allah. ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (QS:  Al Mujaadalah [58] : 22)
Enam;
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً
الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً
“Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (pemimpin/teman penolong) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah.” (QS: An-Nisa’ [4]: 138-139)
Masih ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menegaskan larangan memilih non Muslim (kafir) sebagai bagi kaum Muslimin yang juga menggunakan pilihan kata WALI sebagaimana ayat di atas. Di antara ayat-ayat tersebut adalah : QS. Al Maidah: 51, QS Al-Maidah: 80-81, QS Al-Mumtahanah: 1 dsb.
Dari beberapa ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala menggunakan pilihan kata pemimpin dengan kata WALI. Padahal ada begitu banyak padanan kata pemimpin dalam bahasa arab selain kata wali. Misalnya kata Aamir, Raa’in, Haakim, Qowwam, Sayyid dsb. Mengapa Allah gunakan pilihan kata pemimpin dalam tersebut dengan kata WALI?
Jawabnya adalah karena barangkali secara bahasa, kata Waliy (WALI) ini memiliki akar kata yang sama dengan kata wilaayatan (wilayah/daerah). Karena itu, penggunakan kata waliy dalam berbagai ayat di atas mengindikasikan bahwa definisi pemimpin yang dimaksud ayat-ayat di atas adalah pemimpin yang bersifat kewilayahan. Dengan kata lain, non Muslim yang dilarang umat Islam memilihnya menjadi pemimpin adalah pemimpin yang menguasai suatu wilayah milik kaum Muslimin.
Dari penjelasan ini maka batasan pemimpin non Muslim (kafir) yang seorang Muslim haram memilihnya adalah yang bersifat memangku/menguasai wilayah kaum Muslimin. Semisal lurah, camat, bupati, gubernur maupun presiden.

Sumber: http://www.hidayatullah.com/none/read/2016/03/22/91574/fiqh-kepemimpinan.html

Rabu, 02 November 2016

Makna Tanda Kiamat “Budak Wanita Melahirkan Tuannya”

 Salah satu tanda kiamat pernah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Malaikat Jibril yang datang dalam wujud laki-laki tampan.

أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا

“Jika budak wanita telah melahirkan tuannya” (HR. Muslim)
Demikian sabda Rasulullah menjawab pertanyaan apa tanda-tanda kiamat. Ada tanda lain yang disebutkan setelah kalimat ini, namun fokus kita kali ini pada kalimat ini. Apa makna “budak wanita melahirkan tuannya”?
Imam Nawawi menjelaskan bahwa maksud budak wanita melahirkan tuannya adalah jika seorang laki-laki memiliki budak wanita, lalu berhubungan dengannya dan budak itu melahirkan anak. Anak tersebut kemudian berstatus sebagai tuannya. Pendapat Imam Nawawi ini mewakili pendapat mayoritas ulama.
Makna kedua, orang kaya menjual budak yang telah melahirkan anak darinya. Selang bertahun-tahun setelahnya, sang anak yang telah tumbuh dewasa membeli budak tersebut. Hingga jadilah wanita yang sebenarnya adalah ibunya itu menjadi budaknya.
Makna ketiga, sebagian ulama menjelaskan bahwa “budak wanita melahirkan tuannya” adalah kalimat kiasan. Maknanya, ketika orang-orang sudah tak lagi berbakti kepada ibunya. Tidak menghormati ibunya. Tidak memuliakan ibunya. Yang terjadi justru sebaliknya, anak menyuruh-nyuruh ibunya. Anak memperlakukan ibunya seperti pembantu, seperti budak. Diperintah dan disuruh-suruh. Diperintah melakukan pekerjaan domestik kerumahtanggaan, disuruh mengerjakan pekerjaan dapur dan sumur; disuruh mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, memasak, dan sejumlah aktifitas yang tak pantas diberikan kepada sang ibu.
Syaikh Musthafa Dieb Al Bugha dan Syaikh Muhyidin Mistu dalam Al Wafi menjelaskan makna ini, “Banyak anak yang durhaka pada orangtuanya, mereka memperlakukan orangtuanya seperti perlakuan tuan terhadap budaknya.”
Makna pertama dan kedua, dulu pernah terjadi meskipun intensitasnya tidak bisa dipastikan apakah hanya beberapa kasus atau sering terjadi. Namun makna ketiga ini, sungguh saat ini telah terjadi dalam intensitas besar. Tidak sedikit terjadi ibu diperlakukan seperti pembantu oleh anaknya sendiri. Sebagiannya mungkin terjadi di masyarakat kita. Sebagiannya muncul ke permukaan melalui berita, sebagiannya lagi tidak diberitakan media tetapi dijumpai di masyarakat dan menjadi perbincangan. Sebagian lagi, mungkin ada ibu-ibu yang hanya meneteskan air mata menahan derita saat dirinya diperlakukan seperti pembantu oleh anaknya sendiri. Padahal sejatinya, ibu adalah orang yang paling berhak atas anak-anaknya. Bukan hanya berhak dimuliakan, dihormati dan ditaati, bahkan kebaikannya tak bisa ditebus meski seluruh dunia dipersembahkan anak kepadanya. [Muchlisin BK/Bersamadakwah].

Sumber: http://bersamadakwah.net/makna-tanda-kiamat-budak-wanita-melahirkan-tuannya/

Selasa, 11 Oktober 2016

KEUTAMAAN SHALAT BERJAMA’AH

Shalat merupakan rukun kedua dalam rukun Islam setelah syahadatain, dan shalat merupakan tiang agama dan amalan yang paling dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakannya dengan cara berjama’ah merupakan ketaatan yang sangat mulia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sebagai syiar Islam, namun banyak orang yang mengaku dirinya beragama Islam menganggap remeh masalah ini. Hal ini disebabkan mereka belum mengetahui besarnya pahala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sediakan terhadap orang yang melaksanakan shalat secara berjama’ah dan ketidaktahuan mereka terhadap hukum shalat berjama’ah itu sendiri. Fadhilah Shalat Berjama’ah 1. Naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat bagi orang yang hatinya terpaut pada masjid. Salah satu fadhilah yang didapatkan dari shalat berjama’ah adalah barang siapa yang mempunyai rasa cinta yang dalam terhadap masjid untuk melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan naungan pada hari kiamat kelak. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ …وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ… : متفق عليه “Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (diantaranya)……dan seseorang yang hatinya selalu terpaut pada masjid” (Muttafaqun Alaihi) Berkata Imam An-Nawawi رحمه الله ketika menjelaskan makna hadits di atas yaitu “Orang mempunyai rasa cinta yang dalam terhadap masjid dan kontinyu dalam melaksanakan shalat berjama’ah di dalamnya bukan berarti selalu tinggal didalam masjid” (lihat syarah An-Nawawi 7 : 121) 2. Keutamaan berjalan ke masjid untuk shalat berjama’ah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa setiap langkah seorang muslim menuju ke masjid merupakan salah satu sebab pengampunan dosa dan pengangkatan derajat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ …وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ… : رواه مسلم “Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa dan mengangkat derajat ?” Para shahabat berkata : “Tentu, Ya Rasulullah”, Beliau bersabda ” ….dan memperbanyak langkah menuju ke masjid …” (HR. Muslim). Pengangkatan derajat artinya kedudukan yang tinggi di Syurga (lihat syarah An-Nawawi 3 : 141). Jangan dianggap bahwa penghapus dosa dan pengangkatan derajat hanya didapatkan bagi orang yang memperbanyak langkahnya menuju ke masjid akan tetapi fadhilah ini akan didapatkan juga ketika kembali ke rumahnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : مَنْ رَاحَ إِلَى مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ فَخُطْوَةٌ تَمْحُو سَيِّئَةً وَخُطْوَةٌ تُكْتَبُ لَهُ حَسَنَةً, ذَاهِبًا وَرَاجِعًا : رواه أحمد “Barang siapa yang menuju ke masjid untuk shalat berjama’ah maka setiap langkahnya menghapuskan dosa dan ditulis padanya satu kebaikan baik ketika ia pergi maupun ia kembali” (HSR. Ahmad). 3. Keutamaan menunggu shalat Dan diantara fadhilah shalat berjama’ah adalah barang siapa yang duduk untuk menunggu shalat ia akan senantiasa dido’akan oleh para malaikat, makhluk yang tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ . التحريم : 6 “Tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim :6) Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : أَحَدُكُمْ مَا قَعَدَ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ فِي صَلاَةٍ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَدْعُو لَهُ الْمَلاَئِكَةُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اللَّهُمَّ ارْحَمْه : رواه مسلم “Apabila salah seorang dari kalian duduk untuk menunggu shalat di masjid maka dia senantiasa dalam keadaan shalat selama ia tidak berhadats (dan) para malaikat akan mendo’akannya : “Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah rahmatilah dia” (HR. Muslim) 4. Keutamaan berada di shaf pertama Dalam shalat berjama’ah terdapat shaf dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah melebihkan shaf awal atas shaf lainnya dikarenakan didalamnya terdapat fadhilah yang sangat agung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا : رواه البخاري “Kalau seandainya manusia mengetahui apa yang terdapat dalam adzan dan shaf pertama kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan melakukan undian niscaya mereka akan melakukannya” (HR. Bukhari) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menjelaskan tentang fadhilah apa yang terkandung didalamnya hal ini menunjukkan betapa besarnya pahala yang terdapat didalamnya. Dan telah datang beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa shaf awal juga menyerupai shafnya para malaikat, sebagaimana juga terdapat riwayat bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dan malaikat-Nya bershalawat terhadap orang-orang yang berada di shaf awal dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah memintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang berada di shaf pertama dan kedua (Lihat Ahammiyatu Shalatil Jama’ah : 21-24). 5. Keutamaan berada di shaf sebelah kanan Diriwayatkan dari Aisyah berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ : رواه أبو داود “Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas orang-orang yang berada pada shaf sebelah kanan” (HHR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Dan adalah para shahabat menyukai untuk senantiasa berada di bagian kanan shaf apabila mereka shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Al-Bara’ Radhiyallahu ‘anhu berkata : كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ فَيُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهَِ : رواه أبوداود “Kami apabila shalat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lebih kami sukai untuk kami berada di sebelah kanan beliau karena beliau menghadapkan wajahnya (pertama kali) kepada kami (saat salam)” (HSR. Abu Daud) 6. Keutamaan mengucapkan amin bersama imam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah menjelaskan tentang fadhilah mengucapkan amin bersama-sama imam dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: إِذَا قَالَ اْلإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ : رواه البخاري “Apabila imam mengucapkan “ghairul maghduubi ‘alaihim waladdhaliin” maka katakanlah “Amin” karena barang siapa yang aminnya bertepatan dengan aminnya para malaikat maka akan diampuni dosanya yang telah lalu ” (HR. Bukhari) 7. Pengampunan dosa atas orang yang melaksanakan shalat berjama’ah setelah menyempurnakan wudhu. Diantara fadhilah dari shalat jama’ah adalah kabar gembira dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam atas orang yang shalat berjama’ah setelah menyempurnakan wudhu berupa pengampunan dosa. Diriwayatkan dari Utsman bin Affan berkata “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلاَةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلاَةِ الْمَكْتُوبَةِ فَصَلاَّهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ : رواه مسلم “Barang siapa yang berwudhu dan menyempurnakannya kemudian berjalan untuk melaksanakan shalat fardu bersama dengan manusia atau secara berjama’ah atau di dalam masjid maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosanya” (HR. Muslim) 8. Keutamaan shalat berjama’ah atas shalat sendiri Telah terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan tentang ganjaran bagi orang yang melaksanakan shalat secara berjama’ah berupa pelipat gandaan derajat atas orang yang shalat secara sendiri-sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda ( صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً ( رواه البخاري “Shalat berjama’ah lebih afdhal dari shalat sendiri sebanyak dua puluh derajat” (HR. Bukhari) 9. Dua pembebasan atas orang yang senantiasa mendapatkan takbir pertama imam selama empat puluh hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ اْلأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ : رواه الترمذي “Barang siapa yang shalat selama empat puluh hari secara berjama’ah dan selalu mendapatkan takbir pertama, maka di tetapkan baginya dua pembebasan : Pembebasan dari api neraka dan pembebasan dari nifaq” (HHR. Tirmidzi). Ya Allah, janganlah Engkau wafatkan kami sebelum kami mendapatkan keutamaan-keutamaan ini, Amin. -Syamsuddin- Maraji’ : Ahammiyah Shalati Al Jama’ah, Dr. Fadhlu Ilahi (Al Fikrah Tahun 2 Edisi 18)

Sumber Tulisan: http://wahdah.or.id/keutamaan-shalat-berjamaah/

TIGA KEUTAMAAN IBU

"…Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya . Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS al-Israa' [17]: 23).

Allah mengajarkan kepada kita agar berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua. Untuk mengatakan kepada keduanya "ah" ( perkataan yang dapat menyakiti hati keduanya ) saja kita tidak diperkenankan apalagi yang lebih dari itu. Pernah suatu ketika datang seorang laki-laki kepada Rasulullah saw, ia bertanya kepada Rasulullah saw," Ya Rasulullah, siapa dari manusia yang paling berhak aku utamakan? Rasulullah saw bersabda "Ibumu". Laki-laki tersebut bertanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Rasulullah saw bersabda, "kemudian ibumu". Laki-laki tersebut betanya kembali, "kemudian siapa lagi?" Rasulullah bersabda, "kemudian ibumu". "Kemudian siapa lagi?" Rasulullah bersabda, "kemudian ayahmu". (HR Muslim ).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya "Al-Jami'ul Al-Ahkamil Qur'an" mangatakan bahwasanya hadits tersebut menunjukan tiga kecintaan dan pengorbanan seorang ibu. Ketiga perakara itu, pertama adalah pengorbanan seorang ibu ketika dalam keadaan hamil, kedua adalah pengorbanan ketika melahirkan, dan ketika adalah pengorbanan ketika menyusui serta mendidik anak. Ketiga perkara tersebut dilakukannya seorang diri.

Perkara pertama, hamilnya seorang ibu. Saat seorang ibu hamil tubuhnya menjadi rentan akan 'bahaya'. Berat tubuhnya menjadi dua kali lipat, karena memebawa kita di dalam rahimnya. Hal itu berlangsung kurang lebih selama Sembilan bulan. Kecintaannya kepada kita telah dicurahkannya sejak saat itu, ia selalu mendahulukan keselamatan bayinya daripada dirinya sendiri. Ia tidak pedulikan berat beban tubuhnya yang bertambah karena kehdiran kita di rahimnya.

Perkara kedua, saat ibu melahirkan. Saat-saat inilah yang dinantikan oleh seorang ibu. Saat dimana ia dapat melihat buah hatinya setelah selama kurang lebih sembilan bulan mengandungnya. Namun saat-saat ini juga merupakan saat-saat yang paling beresiko tinggi dalam hidupnya. Karena melahirkan rentan sekali dengan kematian. Tak sedikit ibu yang rela mengorbankan nyawanya demi lahirnya sang buah hati.

Perakara ketiga, saat menyusui dan mendidik. Setelah melewati masa-masa kritis ketika melahirkan. Tugas seorang ibu tidak lantas selesai begitu saja. Ia haruslah menyusui bayinya sebagai makanan pertama si bayi. Dalam benaknya hanya ada bagaimana agar bayinya tumbuh sehat. Paling tidak kebutuhan jasadiahnya terpenuhi. Setelah lewat masa menyusi dan bayinya tumbuh dewasa ia harus mendidiknya agar kelak menjadi anak yang soleh dan solehah. Mendidik dengan cinta kasih dan kesabaran yang bagai sang surya menyinari dunia.

Ketiga perkara tersebut yang menjadikan seorang ibu mempunyai tiga keutamaan daripada seorang ayah. Dan ketiga perkara tersebut tidak pernah bisa kita balas sepanjang hayat kita walaupun dengan emas permata seluruh dunia. Wallahu 'alam bi showab.

Senin, 10 Oktober 2016

ADAB BERPAKAIAN



Adab Berpakain
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.Ketokohan profil ini tidak diragukan lagi. Ia sangat meyakinkan, reputasinya tak perlu dipertanyakan. Banyak ayat Al-Qur`an yang membicarakan keutamaan beliau, baik secara pribadi maupun dalam konteks umum.
Pakaian merupakan salah satu nikmat terbesar yang di anugerahkan kepada para hamba, diantara sekian banyak nikmat Allah Shuhanahu wa ta’alla yang ada. Yang berfungsi sebagai alat untuk menutup aurat, menahan tubuh dari panas dan dingin serta penangkal kerusakan lainnya. Dan telah datang penjelasan didalam dalil-dalil syar'iyah yang menerangkan tentang hukum-hukum berpakain secara rinci dan jelas, disamping itu, syari'at juga telah menjelaskan batasan wajib ukuran berpakaian yang dikatakan telah menutupi aurat. Juga menjelaskan mana saja perkara yang sunah maupun haram, makruh dan mubah dalam berpakaian, baik dari segi jenis, batasan maupun ukurannya.
Dan para ulama kita telah menyebutkan adab dan etika berpakaian dalam buku-buku mereka yang disertai dengan dalil yang membikin hati semakin tentram. Dan diantara adab dan etika tersebut ialah:
1.         Wajib menutup Aurat.
Dan yang dimaksud dengan aurat ialah anggota tubuh yang wajib ditutupi, yang mana pemiliknya akan merasa malu bila tersingkap atau terbuka. Dalilnya adalah firman Allah tabaraka wa ta'ala:

قال الله تعالى: ﴿ يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ قَدۡ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمۡ لِبَاسٗا يُوَٰرِي سَوۡءَٰتِكُمۡ وَرِيشٗاۖ ٢٦ [الأعراف: 26  
"Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan". (QS al-A'raaf: 26).

Dengan ayat ini, maka menutup aurat dengan pakaian adalah perkara wajib. Sedangkan batasan aurat bagi laki-laki dewasa ialah mulai dari pusar sampa lutut. Berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad didalam musnadnya dari Jarhad radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah lewat di hadapannya dan ketika itu pahanya terbuka, maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا جَرْهَدُ! غَطِّ فَخِذَكَ, فَإِنَّ الْفَخِذَ عَوْرَةٌ » [أخرجه أحمد]
"Wahai Jarhad! Tutupi pahamu, sesungguhnya paha termasuk aurat". HR Ahmad 25/280 no: 15932.

Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'laq (tanpa disertai sanda), Imam Malik dan juga Tirmidzi, dengan sanad hasan karena terkumpul banyak penguat.
Imam Bukhari berkomentar seusai menyebutkan perbedaan pendapat tentang masalah ini, "Haditsnya Jarhad lebih kuat". [1] Adapun aurat bagi perempuan, maka dalam hal ini telah datang penjelasan dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « المرأة عورة » [أخرجه الترمذي]
"Wanita adalah aurat". HR at-Tirmidzi no: 1173. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam al-Misykah 2/933 no: 3109.

Dan telah lewat penjelasan secara rinci yang berkaitan tentang pakaian wanita.
2.         Hendaknya tebal dan tidak transparan sehingga menampakan aurat atau warna kulit dan lekuk tubuh, dan ini berlaku baik pakaian laki maupun wanita.
Ibnu Tamim menjelaskan, "Dibenci pakaian yang transparan apabila sampai menggambarkan anggota badan". Imam al-Marwadzi menceritakan, "Aku pernah disuruh oleh beberapa orang tatkala aku sedang berada dirumahnya Abu Abdillah yakni Imam Ahmad, untuk membeli sebuah pakaian untuk mereka. Maka Imam Ahmad berpesan, "Jangan beli pakaian yang tipis karena aku membenci pakaian yang transaparan baik untuk mayit maupun orang yang masih hidup. Sesungguhnya paha adalah aurat".[2]
3.         Tidak menyerupai pakaian wanita bagi laki-laki demikian pula tidak menyerupai pakaian laki-laki bagi wanita.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, berkata, "Rasulallah shalallahu 'alaihi wa sallam melaknat orang-orang yang menyerupai wanita dari kalangan pria dan orang-orang yang menyerupai pria dari kalangan wanita". HR Bukhari no: 5885.
4.         Tidak boleh isbal (melebihi mata kaki) bagi laki-laki. Dan larangan ini mencakup pakaian yang berupa jubah, sarung, celana maupun gamis.
Hal itu, berdasar sebuah riwayat yang dibawakan oleh Abu Dawud dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة » [أخرجه أبو داود]
"Melebihkan pakaian dibawah mata kaki itu bisa berupa jubah, atau gamis atau sorban. Barangsiapa yang menarik pakaiannya dalam keadaan sombong maka Allah tidak akan melihatnya sama sekali kelak pada hari kiamat". HR Abu Dawud no:4094. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 2/771 no: 3450.

Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad didalam musnadnya dari Jabir radhiyallahu 'anhu, secara marfu', bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ » [أخرجه أحمد]
"Hati-hatilah engkau dari memanjangkan jubah karena memanjangkan jubah (sampai dibawah mata kaki) termasuk dari kesombongan dan Allah tidak menyukai orang yang sombong". HR Ahmad 34/238 no: 20635.
Dan tekstual dalam hadits diatas menjelaskan pada kita bahwa hanya sekedar memanjangkan pakaian dibawah mata kaki itu sudah termasuk dalam kategori sombong biarpun orang yang memakainya tidak mempunyai maksud ke arah sana.
Dalam hal ini, telah datang ancaman yang sangat keras bagi siapa pun orangnya yang berpakaian melebihi kedua mata kaki. Seperti dijelaskan dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhhu, bahwa Nabi MuhammadShalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ » [أخرجه البخاري]
"Segala sesuatu (dari) pakaian yang berada dibawah kedua mata kaki maka tempatnya didalam neraka". HR Bukhari no: 5787.
5.         Haram memakai pakaian yang ada gambar salib atau bergambar makhluk hidup.
Seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa beliau pernah membeli sarung bantal yang ada gambarnya, maka tatkala Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung berdiri didepan pintu tidak mau masuk ke dalam rumah. Maka aku paham dari raut mukanya yang tidak senang dengan sarung bantal tersebut.
Kemudian Aisyah berkata, "Wahai Rasulallah, aku bertaubat kepada AllahShubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya, apa salahku? Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertanya, "Untuk apa sarung bantal tersebut? Aisyah menjawab, "Aku membelinya untukmu sebagai alas bantal dan tempat duduk". Lalu RasulallahShalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ أَصْحَابَ هَذِهِ الصُّوَرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعَذَّبُونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ. وَقَالَ: إِنَّ الْبَيْتَ الَّذِي فِيهِ الصُّوَرُ لَا تَدْخُلُهُ الْمَلَائِكَةُ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Sesungguhnya orang-orang yang melukis gambar ini kelak akan diadzab pada hari kiamat, dan dikatakan pada mereka, "Hidupkan apa yang telah kalian gambar! Dan beliau bersabda: "Sesungguhnya rumah yang ada gambar didalamnya tidak akan dimasuki oleh para malaikat". HR Bukhari no: 5961, Muslim no: 2107.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Imran bin Hithan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha menceritakan, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membiarkan sedikitpun didalam rumah suatu benda yang berupa salib melainkan beliau menghancurkannya. Al-Hajawi mengomentari hadits diatas, "Apabila memasang dan menggantung (tirai yang bergambar) ditembok sebagai tirai saja dilarang, maka larangan untuk dijadikan pakaian itu lebih utama, karena ketika dijadikan pakaian ada bentuk pemuliaan didalamnya. Inilah salah satu sisi keharaman (dalam masalah ini)".[3]
6.         Haram memakai pakaian Syuhrah (popularitas).
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَة » [أخرجه أحمد]
"Barang siapa memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat". HR Ahmad 9/476 no: 5664.

Al-Hajawi menerangkan, "Hal itu, disebabkan karena akan membikin si pelaku tercela dan akan mengurangi muru'ahnya. Dan didalam pakaian mahal yang dihindari ialah seluruh pakaian yang menjadikan bila dipakai membikin dirinya terkenal dikalangan manusia, seperti pakaian yang menyelisihi adat suatu negeri dan keluarga pada umumnya.
Oleh karena itu, hendaknya ia memakai pakaian yang biasa dikenakan oleh umumnya masyarakat, agar dirinya tidak ditunjuk dengan jari telunjuk sama orang lain karena aneh sendiri, sehingga menyebabkan mereka menghibah dan membicarakan tentang dirinya, maka dirinya ikut mendapat  bagian dosa ghibahnya mereka". [4]
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beliau menjelaskan, "Dibenci pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang keluar dari pakaian orang pada umumnya baik itu karena harganya yang sangat mahal maupun model pakaian yang terlalu jelek. Sesungguhnya ulama salaf mereka membenci dua pakaian syuhrah seperti tadi, terlalu mahal dan terlalu jelek modelnya".[5] Imam Ibnu Abdil Barr mengatakan, "Seperti dikatakan, "Setiap makanan yang engkau sukai silahkan makan, (namun) pakailah pakaian yang biasa dikenakan oleh orang banyak".[6]
Seorang penyair mengatakan dalam lantunan bait syairnya:

Jikalau engkau dilempari pandangan semenjak keluar
      Sadarilah, karena engkau sedang mengenakan pakaian syuhrah
Adapun makanan maka makanlah sesuai seleramu
          Dan jadikan pakaianmu sesuai selera orang lain

7.         Haram bila ada udzur. memakai pakaian yang terbuat dari sutera dan memakai emas bagi laki-laki kecuali
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengambil kain sutera lalu memegang dengan tangan kanannya, lalu mengambil emas dan memegang dengan tangan kirinya, kemudian beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِيٍ » [أخرجه أبو داود]
"Sesungguhnya dua (benda) ini haram bagi kaum lelaki dari kalangan umatku". HR Abu Dawud no: 4057. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud no: 3422.

8.         Diantara perkara sunah dalam berpakaian ialah memulai dari sisi kanan terlebih dahulu.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata, "Adalah RasulallahShalallahu 'alaihi wa sallam sangat menyukai untuk melakukan segala pekerjaan dengan sebelah kanan baik dalam bersuci, menyisir rambut maupun memakai sendal". HR Bukhari no: 5845. Muslim no: 268.
Imam Nawawi mengatakan, "Ini merupakan kaidah dalam syari'at yang terus dipakai, yaitu apabila masuk kategori yang mulia dan terhormat, seperti mengenakan pakaian, celana, sendal dan lain sebagainya yang semakna dengannya, maka disunahkan untuk memulainya dengan bagian kanan terlebih dahulu karena kehormatan serta kemuliaan sisi anggota badan yang sebelah kanan".[7]
9.         Disunahkan ketika memakai pakaian baru untuk membaca do'a yang telah dijelaskan dalam masalah itu.
Yaitu membaca do'a yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «  اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ كَسَوْتَنِيهِ أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهِ وَخَيْرِ مَا صُنِعَ لَهُ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهِ وَشَرِّ مَا صُنِعَ لَهُ » [أخرجه الترمذي]
"Ya Allah, segala puji bagi -Mu, Engkau telah mengarunai pakaian ini kepadaku. Aku memohon kepada -Mu kebaikan dari pakaian ini dan kebaikan dari tujuan pakaian ini dibuat. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan pakaian ini dan keburukan dari tujuan pakaian ini dibuat". HR at-Tirmidzi no: 1767.Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan at-Tirmidzi no: 1446.

10.     Disunahkan untuk mengenakan pakaian yang berwarna putih.
Berdasarkan sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ» [أخرجه أبو داود ]
"Kenakanlah oleh kalian pakaian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian terbaik untuk kalian, dan kafanilah dengan warna putih mayat-mayat kalian". HR Abu Dawud no: 4061. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud 2/766 no: 3426.

11.     Dilarang mengenakan pakaian yang dicelup dengan warna kekuning-kuningan.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu 'anhuma, berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihatku mengenakan dua pakaian yang berwarna kekuning-kuningan, lalu beliau bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا » [أخرجه مسلم]
"Sesungguhnya ini termasuk dari pakaian kafir janganlah engkau memakainya". HR Muslim no: 2077.

Al-Hafidh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, setelah menyebutkan ucapannya para ulama tentang pakaian yang berwarna merah, beliau menegaskan, "Yang sesuai dalam masalah ini ialah bahwa larangan untuk mengenakan pakaian yang berwarna merah kalau sekiranya itu merupakan pakaian yang biasa dikenakan oleh orang kafir, maka pendapat dalam hal ini persis seperti pendapat tentang masalah larangan memakai pakaian warna merah. Dan apabila yang dimaksud adalah pakaian wanita maka ini kembali pada larangan menyerupai kaum wanita, maka larangannya ada pada tasyabuh bukan pada jenis pakaiannya.
Dan jika tujuannya adalah untuk popularitas atau menyimpang dari muru'ah maka hal itu terlarang kapanpun terjadinya. Walaupun dalam hal ini pendapat yang dipegang oleh Imam Malik itu lebih kuat yang membedakan antara kondisi didalam rumah dan ketika dikenakan dalam kumpulan banyak orang".[8]
12.     Dianjurkan untuk menampakkan nikmat yang diperoleh dalam berpakaian maupun yang lainnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Abu Dawud dari Abul Ahwash dari bapaknya radhiyallahu 'anhu, dirinya berkata, "Aku pernah mendatangi Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengenakan pakaian kumal, maka beliau bertanya, "Bukankah engkau punya harta? Ia, jawabku. Beliau kembali bertanya, "Harta apa yang engkau miliki? Aku menjawab, "Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memberiku onta, kambing, kuda dan budak". Maka beliau bersabda.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « فإذا آتاك الله مالا فلير أثر نعمة الله عليك وكرامته » [أخرجه أبو داود]
"Apabila Allah telah memberimu harta maka perlihatkan (pada orang) bekas nikmat dan karunia Allah yang diberikan padamu". HR Abu Dawud no: 4063. Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Abi Dawud no: 3428.


13.     Memakai minyak wangi.
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai minyak wangi, seperti dijelaskan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Nasa'i dari Anas radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيبُ » [أخرجه النسائي]
"Dijadikan kecintaan pada diriku dari perkara dunia, wanita dan minyak wangi". HR an-Nasa'i no: 3939. Dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan an-Nasa'i no: 3680.

          Dan beliau tidak pernah menolak bila diberi minyak wangi, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Bukhari no: 2582.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.